Friday 8 February 2013

Robusta atau Arabika (Kopi Sidikalang)



Dalam kancah perkopian nasional bahkan internasional, predikat Kopi Sidikalang pernah mencapai masa keemasan. Tak heran pula bahwa kenikmatan kopi robusta itu bahkan pernah secara ekonomis mengangkat harkat masyarakat Dairi sendiri. Tapi, kini kopi robusta nyaris tenggelam akibat gelombang pasar yang tidak menjamin lagi. Akibatnya, petani beralih ke tanaman kopi jenis arabika yang lebih mengutungkan, tapi kualitas beda.
Fenomena peralihan dari robusta ke arabika sejak dekade terakhir sudah mulai menjamur di kalangan petani kopi Dairi. Menurut beberapa petani dan kalangan pengusaha, peralihan itu terjadi robusta tak lagi mampu mengangkat martabat mereka, singkatnya secara ekonomis tidak menguntungkan lagi.
Sejarah yang tertuang secara lisan di antara masyarakat Dairi mencatat bahwa robusta pernah memakmurkan petani Dairi. Bahkan, ada anekdot yang beredar di kalangan luar daerah Dairi yang mengatakan, “petani kopi Dairi akan mencuci tangannya dengan minuman bir manakala mereka ingin makan.” Kenyataannya, mereka pernah mengecap masa kejayaan dari robusta. Dulu!
Tapi, waktu pula yang membuat segalanya berubah. Seperti yang dikatakan beberapa pengusaha kopi, pengoplosan yang sering dilakukan oknum-oknum tertentu telah merusak pasar ekpor kopi robusta. Pengoplosan yang di kemudian hari drastis mengecewakan konsumen itu dilakukan dengan cara mencampur bubuk kopi robusta dengan bahan lain yang mengakibatkan mutu dan rasanya berobah pula alias anjlok. Akibatnya, harganya pun ikut anjlok.
Otomatis, peristiwa yang hanya menguntungkan sepihak itu, berimbas kepada petani sendiri bahwa pada prinsipya mereka hanya akan menanam komoditi tertentu jika mampu memberikan keuntungan. Nyatanya, robusta nyaris tidak lagi mampu melakukannya. Dan alhasil, dengan terpaksa petani beralih ke jenis lain, yaitu arabika.
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Dairi terlihat pergeseran luas lahan produksi dan jumlah volume produksi yang drastis mengalami penurunan. Tercatat bahwa pada tahun 1996 produksi kopi jenis robusta mencapai sekitar 7.941 ton dengan luas lahan 16.524 hektar. Sangat berbeda halnya dengan kopi jenis arabika yang jumlah produksinya hanya sekitar 1.061 ton dengan luas lahan 3.103 hektar.
Angka produksi itu kemudian mulai bergeser signifikan ke tahun-tahun berikutnya hingga pada tahun 2003 terlihat angka yang mencolok. Tercatat bahwa pada tahun 2003 jumlah produksi kopi arabika meningkat menjadi 9.442 ton dengan luas lahan produksi 9.373 hektar, sedang kopi robusta 6.790 ton dengan luas lahan 12.702 hektar.
Jumlah ini terus bergeser, hingga akhirnya bedasarkan pendataan BPS pada tahun 2006 bahwa pada tahun 2005 tercatat jumlah produski robusta yang jauh drastis menurun hingga hanya mencapai 2.776 ton saja dengan luas lahan produksi 11.154 hektar. Sebaliknya, arabika drastis naik hingga mampu mengimbangi robusta. Sedang sebaliknya tercatat jumlah produksi kopi jenis arabika naik drastis menjadi sekitar 7.698 ton dengan luas lahan “hanya” 9.846 hektar
Di kalangan petani Kabupaten Dairi, kopi jenis arabika disebut juga sebagai kopi ateng atau kopi “si garar utang”(si bayar utang). Pemberian nama ini dapat dikatakan merupakan cerminan kebiasaan petani kopi yang menunggu hasil kopi atengnya untuk membayar utang.
Memang, kopi arabika lebih cepat berbuah setelah ditanam, cukup hanya memakan waktu sekitar 2,5 tahun. Setelah itu mulailah memetik hasilnya untuk waktu yang tidak singkat, yang buahnya bisa dipetik secara rutin, yaitu sekali dalam dua minggu.
Proses penjualannya pun tergolong mudah. Setelah bijinya memerah alias menua dan sudah dapat dipetik, kulit kopi kemudian dibuang dengan menggunakan mesin pemintal. Setelah itu dijemur cukup dalam sehari, lantas dijual dan jadi uang. Hanya saja, pun demikian penanaman kopi arabika juga harus menggunakan pupuk dan pestisida mengingat jenis tanaman ini tergolong rentan dengan hama tanaman yang sewaktu-waktu datang menyerang.
Pupuk yang digunakan—kompos —yang dibeli Rp 3.000 per karung atau urea, menentukan kualitas buahnya kelak. Hal itu khususnya terlihat dari volume dan besar kecilnya biji kopi. Sebab kedua hal ini akan berperan penting ketika biji kopi akan dijual nantinya.
Sangat jauh berbeda dengan robusta. Kopi jenis ini terlebih dahulu dikeringkan dalam waktu yang cukup lama setelah dipetik dari pohonnya dan dibuang kulitnya. Hingga warnanya menghitam dan dapat digongseng, digiling hingga halus lalu dikemas dan dijual di pasaran.
Peralihan petani yang lebih dominan menanam kopi arabika ketimbang robusta memang terlihat drastis meningkat hingga sebagian petani menebangi pohon robustanya untuk diganti dengan pohon arabika. 
Menurunnya jumlah produksi robusta ini menurut beberapa pedagang kopi kemasan mulai membuat mereka cemas. Pasalnya, bahan baku yang mereka gunakan adalah jenis robusta. Tak boleh tidak, sebab itu sudah menjadi cita rasa khas daerah yang barangkali, cita rasa itu juga sudah melekat di lidah para konsumennya.
Memang, menurut beberapa kalangan, kopi jenis arabika sebenarnya dapat dikemas dan diolah menjadi minuman berkualitas, tapi hingga kini masyarakat sendiri belum pernah terpikir untuk ke sana. Bahkan, juga disinyalir bahwa aneka kopi yang sudah dikemas menjadi kopi dalam ukuran “sachet” yang beredar di pasaran menggunakan bahan baku sejenis kopi arabika, yang tentu saja sudah melalui tahap proses pengolahan yang menggunakan teknologi khusus.
Dikatakan juga bahwa sebenarnya kopi jenis arabika memiliki cita rasa yang nikmat dan tak kalah dengan robusta jika mampu dikelola dengan baik. Nah, masalahya adalah ketidakmampuan masyarakat setempat untuk mengelolanya sedemikian rupa.
Arabika memang telah menjamur, tapi ikon Kopi Sidikalang berasal dari robusta. Akankah ikon itu akan hilang? Antara ya dan tidak

1 comment:

Search

Translate


English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese

Flag Counter

Flag Counter

Visit

Hit Counter

Followers